Penanganan Pasca Panen
Komoditi Cabai
Pasca
panen pada tanaman cabai merupakan
kelanjutan dari proses panen agar bahan
hasil panen tanaman cabai tidak
mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta mudah disimpan untuk diproses
selanjutnya.
Penanganan pasca panen pada tanaman cabai secara
garis besar terdiri dari 2 cara,
yaitu penanganan pasca panen primer dan penanganan
pasca panen sekunder. Berikut penjelasannya.
A. Penanganan
pasca panen primer, meliputi :
1. Teknik perlakuan panen
Panen
merupakan kegiatan awal dalam penanganan pascapanen. Pada tahap ini panen
tanaman cabai dilakukan pada tingkat
kematangan yang tepat dan dengan hati-hati untuk menjaga mutu produk. Cabai
dapat dipanen pada umur
60−75 hari setelah tanam untuk yang ditanam di dataran rendah dan pada umur
3−4 bulan untuk yang di dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75%
berwarna merah (Moekasan et al. 2005; Sumarni 2009). Panen dilakukan 3−4
hari sekali atau paling lambat satu minggu sekali, sampai tanaman berumur 4−7
bulan (15 kali panen) atau sesuai kondisi tanaman (Asgar et al. 2000; Sutarya et
al. 1995). Buah yang dipanen terlalu muda akan cepat layu, bobot cepat
berkurang, cepat rusak dan kurang tahan guncangan waktu pengangkutan.
2. Sortasi
Konsumen
terutama pasar swalayan, restoran dan hotel lebih mengutamakan spesifikasi
produk yang mereka inginkan dan untuk ini mereka berani membayar lebih besar
jika dibandingkan dengan pasar tradisional (wet market). Penampilan
produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk, permukaan, warna,
maupun kekerasan buah, akan memberikan penilaian yang lebih baik. Untuk itu
diperlukan sortasi dan grading terhadap buah cabai yang diinginkan konsumen,
baik rumah tangga, kelompok konsumen swalayan, restoran, hotel, industri pangan
olahan tradisional maupun skala industri. Umumnya, sortasi dan grading
dilakukan oleh pedagang pengumpul.
Sortasi
terhadap warna menjadi hal yang sangat penting bagi konsumen. Karenanya harus
ada upaya untuk menstabilkan warna cabe sebelum dikeringkan. Petani di
Indonesia akan menghamparkan buah cabai yang sudah dipetik di tempat teduh dengan
tujuan untuk mencegah pembusukan sebelum dijual ke pasar. Tindakan seperti ini
disebut curing yaitu mengondisikan buah cabe untuk dapat menyesuaikan
dengan keinginan dari pasar.
Dalam penelitian “Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Cabai Merah” memaparkan bahwa beberapa kelompok
konsumen seperti hotel,
restoran, dan pasar swalayan memberi harga yang berbeda pada cabai berdasarkan
kelas mutu. Soetiarso dan Majawisastra (1992) melaporkan, konsumen mempunyai
preferensi yang berbeda dalam menempatkan urutan faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan dalam menentukan harga pembelian cabai merah. Buah cabai yang telah dipanen segera disortasi untuk mencegah
kerusakan. Penundaan sortasi akan mempercepat pembusukan. Cabai
hasil sortasi yang berkualitas kurang baik masih dapat dipasarkan, meskipun
harganya rendah. Sortasi yang dilakukan di petani berbeda yang dilakukan oleh
industri (Asgar 2000). Petani umumnya mengharapkan semua hasil panen
dapat dijual. Cabai yang berkualitas baik dijual ke pedagang atau pasar swalayan,
sedangkan yang kualitasnya kurang baik dipasarkan ke pedagang pengecer atau
pasar tradisional. Demikian pula di tingkat pedagang, cabai yang berkualitas baik
dijual ke industri pengolah dan yang kurang bagus dijual ke pedagang pengecer.
Industri pengolahan menghendaki cabai yang berkualitas baik agar hasil
olahannya berkualitas prima.
3. Penyimpanan
Di Indonesia,
cabai umumnya lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk segar. Karena itu, para
produsen dan pengelola komoditas cabai berupaya supaya cabai tetap kelihatan
segar. Untuk itu diperlukan tindakan yang benar pada saat handling,
pengemasan dan penyimpanan agar mutu tetap stabil dan bisa diterima konsumen
dengan harga yang tinggi.
Setelah pemetikan, proses fisiologi tetap berjalan,
tergantung pada situasi luar, seperti temperatur dan kelembaban. Proses
fisiologi tetap dipertahankan tetapi lajunya harus dikurangi. Caranya dengan
menekan tingkat respirasi, yaitu mengatur temperatur dan kelembaban udara di
sekelilingnya dengan menempatkan produk dalam ruangan yang sistem udaranya
terkendali. Selain laju respirasi, harus juga ditekan laju transpirasi yaitu
proses penguapan dari buah cabai dengan cara meningkatkan kelembaban udara dan
menurunkan temperatur, atau dengan menempatkan buah cabai dalam kemasan
tertentu untuk mengurangi gerakan udara di sekeliling cabai.
Cabai
yang telah dipanen dapat disimpan di lapangan atau di ruang tertutup, yaitu bangunan berventilasi,
ruang berpendingin atau ruang tertutup yang konsentrasi gasnya berbeda dengan
atmosfer. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang umur dan kesegaran
cabai tanpa menimbulkan
perubahan fisik atau kimia. Cara yang biasa digunakan adalah menyimpan cabai segar
pada suhu dingin, sekitar 4OC. Menurut Asgar (2009), pendinginan bertujuan
menekan tingkat perkembangan mikroorganisme dan perubahan biokimia. Penyimpanan pada suhu
rendah merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kesegaran cabai. Suhu
optimal pendingin bergantung pada varietas cabai dan tingkat kematangannya.
Pendinginan dengan menggunakan refrigerator umumnya lebih mudah
dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, cara ini sulit diterapkan di tingkat petani
karena biayanya mahal. Penyimpanan dengan modifikasi atmosfer atau udara terkendali
dapat memperlambat respirasi dengan mengurangi kandungan O2 serta meningkatkan
kandungan CO2 dan N2. Dengan cara ini, aktivitas metabolisme bahan akan berkurang
sehingga memperlambat proses
kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Pantastico et al. (1975) serta Dasuki
dan Muhamad (1997) menyatakan, penyimpanan dengan udara terkontrol dan
dimodifikasi dapat menghambat metabolisme sehingga menunda pematangan dan
pembusukan buah. Oleh karena itu, cabai yang akan disimpan hendaknya sehat,
seragam kematangannya, dan dikemas dengan baik.
4. Pengemasan
Pengemasan
bertujuan untuk melindungi mutu produk cabai dari kerusakan mekanis, fisik dan
fisiologi pada saat handling, pengangkutan dan bongkar muat. Kemasan
yang ideal harus kuat, memiliki daya lindung yang tinggi terhadap kerusakan,
mudah di-handle, aman dan ekonomis. Wadah kemasan dapat dibuat secara
tradisional berupa keranjang bambu atau rotan, karung plastik polietilen dan
kardus berventilasi. Para petani dan pedagang cabai untuk pasar tradisional
biasanya mengemas cabai
dengan karung plastik berlubang-lubang. Sementara itu, pasar swalayan
menghendaki kemasan dalam kardus.
Pengemasan
bertujuan untuk melindungi mutu cabai sebelum dipasarkan. Pengemasan yang baik dapat
mencegah kehilangan hasil, mempertahankan mutu dan penampilan, serta
memperpanjang masa simpan bahan. Kemasan yang biasa digunakan untuk memudahkan penyimpanan
dan pengangkutan cabai di pasar domestik adalah keranjang bambu, peti
kayu, dan plastik. Kemasan yang ideal adalah yang mudah diangkat, aman,
ekonomis, dan dapat menjamin kebersihan produk. Kemasan lain yang biasa
digunakan pedagang adalah jala dengan kapasitas 9−100 kg. Kemasan ini sangat praktis,
tetapi tidak dapat melindungi cabai dari kerusakan mekanis dan
fisiologis, terutama pada saat ditimbang dan di dalam alat angkut. Volume kemasan
sebaiknya tidak melebihi 25 kg karena kemasan yang terlalu besar dapat menurunkan mutu
cabai, terutama yang berada di bagian bawah (Setyowati dan Budiarti 1992).
Kemasan yang baik dapat menekan benturan, mempermudah pertukaran udara, dan
mengurangi penguapan. Prinsip pembuatan kemasan adalah ekonomis, bahannya
tersedia, mudah dibuat, ringan, kuat, dapat melindungi komoditas,
berventilasi dan tidak bau.
5. Pengangkutan
Pada tahap ini transportasi
memiliki peranan penting untuk memindahkan cabe dari lapangan ke tempat
pengolahan (sertasi dan grading), kemudian ke pasar dan gudang. Selama
proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya.
Pengangkutan
dengan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka berbeda dengan sistem
non konvensional seperti kontainer dengan sistem udara terkendali. Pengangkutan
dengan sistem non konvensional cabe relatif lebih aman dari kerusakan fisik,
fisiologis maupun mekanis. Namun, pengangkutan dengan kontainer baru digunakan
oleh perusahaan besar yang mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara
itu, untuk pasar tradisional buah cabe lebih sering diangkut dengan mobil bak
terbuka.
Pengangkutan
merupakan mata rantai penting dalam penanganan pascapanen dan distribusi cabai.
Untuk memperpanjang kesegaran, biasanya pedagang memerlukan alat angkut yang cocok untuk memperlancar
pemasaran. Jika jumlah cabai yang dipasarkan sedikit, biasanya petani / pedagang menggunakan
pikulan, sepeda atau gerobak. Selama pengangkutan,
cabai dapat mengalami kerusakan mekanis karena kontak dengan wadah
atau dengan cabai yang lain akibat goncangan. Kerusakan fisiologis juga bisa
terjadi akibat gangguan metabolisme dalam bahan. Proses respirasi yang masih berlangsung
dalam cabai yang ditumpuk menghasilkan H2O, CO2, dan energi dalam bentuk
panas. Jika panas yang dihasilkan berlebihan akan mengakibatkan cabai menjadi layu,
respirasi makin cepat, dan jaringan sel mati. Menurut Hartuti dan
Sinaga (1993), pengangkutan cabai jarak jauh dengan menggunakan keranjang
bambu, dapat menekan susut bobot hingga 0%, tingkat kerusakan 1,30%, dan
kesegaran cabai cukup baik. Kemasan karton/kardus dengan kapasitas 20 kg
dapat digunakan bila dipadukan dengan karung jala yang dimasukkan ke dalam
kardus berventilasi. Pengemasan cabai yang kurang baik dapat menyebabkan
kerusakan dan kehilangan hasil selama pengangkutan. Menurut Sutarya et al. (1995), pengangkutan cabai dalam jarak
lebih dari 200 km dengan kemasan karung berkapasitas 90 kg menyebabkan
kerusakan hingga 20%.
6. Pemasaran
Pemasaran produk pertanian khususnya cabai masih belum
memiliki kepastian, terutama harga. Saat ini, harga produk pertanian masih
dipengaruhi oleh banyaknya suplai di pasar, musim dan event - event
tertentu seperti hari raya keagamaan.
Jika suplai cabai di pasar terlalu banyak, harganya akan
turun. Jika suplai sedikit harganya akan meningkat dari harga rata-rata. Faktor yang paling mempengaruhi
harga cabai di pasaran adalah pengaruh musim.
B. Penanganan pasca panen sekunder,
meliputi :
1. Pengolahan cabai kering
Harga
komoditas pertanian termasuk cabai, umumnya akan jatuh pada saat panen raya. Untuk
mengatasi masalah tersebut, cabai dapat dikeringkan lalu dibuat tepung (bubuk)
sebagai bumbu siap pakai. Cabai kering berbentuk tepung sering digunakan
sebagai pengganti lada. Cabai kering biasanya dipasarkan dan diolah lebih lanjut
menjadi serbuk atau oleoresin cabai. Cabai kering hendaknya dibuat dari buah cabai yang
betul-betul masak dan sehat (Menurut Asgar 2009).
Buah
yang kurang tua atau masih
kehijauan (warna merah kurang dari 60%) akan menghasilkan cabai kering yang
berwarna keputihan, sedangkan
buah cabai yang sudah mulai membusuk akan menghasilkan cabai kering yang
berwarna kehitaman.
Cabai
dibuang tangkainya lalu dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian dibelah atau bisa pula dalam
bentuk utuh. Bila dibelah, pengeringannya lebih cepat dibandingkan yang
utuh. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 60°C lebih baik
daripada dijemur. Menurut Duriat (1995), pengeringan cabai dengan menggunakan alat
pengering memudahkan mengontrol suhu dan kelembapan untuk mencapai kadar
air 5−8%. Cabai merah utuh membutuhkan waktu pengeringan 20−25 jam, sedangkan
yang dibelah hanya memerlukan waktu 10−25 jam. Cabai merah yang telah kering digiling bersama rempah-rempah
lainnya sampai menjadi bumbu siap pakai. Pengeringan cabai merah dapat pula menggunakan alat
pengering energi surya.
Hartuti
dan Sinaga (1995) menggunakan pengering tenaga surya rakitan Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Penggunaan alat pengering tersebut yang
dikombinasi dengan memberi perlakuan antioksidan emulsi dipsol, Na2S2O5 dengan
perendaman selama 6 menit dan pengeringan 7 hari menghasilkan cabai
merah kering terbaik.
2. Pengolahan cabai merah menjadi saus
Pengolahan
cabai merah menjadi saus dimulai dengan pemilihan buah cabai merah yang sehat dan tidak
rusak. Cabai dibuang tangkainya lalu dicuci sampai bersih, dikukus hingga matang,
kemudian digiling bersama bumbu, seperti bawang putih yang telah dikukus 10
menit, gula pasir, garam, penyedap masakan, kecap inggris, minyak wijen, cuka,
dan bahan pengawet natrium benzoat 0,025 g / 1 kg cabai. Setelah tercampur rata, adonan
dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Selanjutnya didiamkan 20 menit,
lalu dipanaskan kembali hingga mendidih selama 3 menit. Pemanasan saus secara
bertahap dapat memperbaiki konsistensi (mencegah terjadinya pemisahan air). Dalam
keadaan panas, saus dimasukkan
ke dalam botol steril lalu ditutup rapat, kemudian dipasteurisasi dengan dikukus selama
30 menit.
3. Pengolahan cabai merah menjadi bumbu nasi goring.
Cabai
untuk bumbu nasi goreng dipilih yang berwarna merah. Cabai dikukus sampai matang,
waktunya disesuaikan dengan jumlah cabai yang akan diolah. Pengukusan cabai
sebelum diolah akan memperbaiki warna bumbu nasi goreng. Setelah matang, cabai
digiling bersama bumbu, yaitu bawang merah, bawang putih, kecap ikan,
kecap manis, minyak wijen, garam, minyak goreng, tomat yang telah dihaluskan,
penyedap, dan lada. Campuran cabai dan bumbu yang telah digiling lalu ditumis
dalam minyak panas (suhu 90°C) selama 3 menit. Cara pemanasan ini menghasilkan bumbu
nasi goreng yang terbaik
dibandingkan tanpa pemanasan. Dalam keadaan panas, bumbu dimasukkan ke dalam
botol steril, lalu ditutup rapat dan dipasteurisasi dengan cara dikukus 30 menit.
4. Oleoresin cabai merah.
Penggunaan
oleoresin cabai merah sebagai pewarna makanan makin meluas sehingga permintaannya
makin meningkat. Oleoresin cabai merah mempunyai ketahanan panas yang
lebih baik dibandingkan dengan pewarna lainnya. Kisaran pH untuk
pemakaiannya cukup luas, yaitu 1−9. Keuntungan mengolah cabai merah menjadi
oleoresin yaitu: 1) produk lebih awet karena bebas dari mikroba, serangga, dan enzim
serta berkadar air rendah, 2) mutu produk seragam dan mudah distandarkan, 3)
memiliki rasa yang mirip dengan rempah asli, dan 4) dapat dipadatkan
(ditumpuk) sehingga menghemat biaya transportasi. Sebagai pewarna makanan, oleoresin paprika sering
dicampur dengan pewarna alami lain, seperti annato dan kurkumin. Keuntungan pemakaian
oleoresin dibandingkan dengan rempah-rempah bubuk lainnya adalah ekonomis, rasa kuat dan dapat dikontrol, serta
tahan panas. Hasil penelitian Yuliana et al. (1991) terhadap rendemen
dan mutu oleoresin dari beberapa jenis cabai menunjukkan bahwa pembelahan buah
cabai sebelum pengeringan menghasilkan mutu oleoresin yang baik, tetapi
menurunkan kadar minyak atsiri. Sebelum diekstraksi, cabai perlu
dikeringkan sampai kadar air 10%, namun pengeringan yang terlalu lama dapat
menurunkan kandungan minyak atsiri. Pengeringan juga akan memengaruhi kepedasan
dan warna cabai kering. Mutu oleoresin ditentukan oleh nilai kepedasan,
intensitas warna, dan aroma sehingga pengeringan cabai harus diusahakan berlangsung
dalam waktu singkat pada suhu rendah.
Demikianlah pembahasan
mengenai teknik / cara penanganan pasca panen pada tanaman cabai semoga
bermanfaat bagi para insan – insan yang berkecimpun di dunia pertanian dan
menjadi bahan referensi bagi kita semua demi kemajuan pertanian di Indonesia
pada masa – masa yang akan datang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar