bintang jatuh

Selasa, 25 November 2014

Penanganan Pasca Panen Tanaman Cabai



Penanganan Pasca Panen Komoditi Cabai
Pasca panen pada tanaman cabai merupakan kelanjutan dari proses panen agar bahan hasil panen tanaman cabai tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta mudah disimpan untuk diproses selanjutnya.
Penanganan pasca panen pada tanaman cabai secara garis besar terdiri dari 2 cara, yaitu penanganan pasca panen primer dan penanganan pasca panen sekunder. Berikut penjelasannya.
A.   Penanganan pasca panen primer, meliputi :
1.    Teknik perlakuan panen
Panen merupakan kegiatan awal dalam penanganan pascapanen. Pada tahap ini panen tanaman cabai dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat dan dengan hati-hati untuk menjaga mutu produk. Cabai dapat dipanen pada umur 60−75 hari setelah tanam untuk yang ditanam di dataran rendah dan pada umur 3−4 bulan untuk yang di dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75% berwarna merah (Moekasan et al. 2005; Sumarni 2009). Panen dilakukan 3−4 hari sekali atau paling lambat satu minggu sekali, sampai tanaman berumur 4−7 bulan (15 kali panen) atau sesuai kondisi tanaman (Asgar et al. 2000; Sutarya et al. 1995). Buah yang dipanen terlalu muda akan cepat layu, bobot cepat berkurang, cepat rusak dan kurang tahan guncangan waktu pengangkutan.
2.    Sortasi
Konsumen terutama pasar swalayan, restoran dan hotel lebih mengutamakan spesifikasi produk yang mereka inginkan dan untuk ini mereka berani membayar lebih besar jika dibandingkan dengan pasar tradisional (wet market). Penampilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk, permukaan, warna, maupun kekerasan buah, akan memberikan penilaian yang lebih baik. Untuk itu diperlukan sortasi dan grading terhadap buah cabai yang diinginkan konsumen, baik rumah tangga, kelompok konsumen swalayan, restoran, hotel, industri pangan olahan tradisional maupun skala industri. Umumnya, sortasi dan grading dilakukan oleh pedagang pengumpul.
Sortasi terhadap warna menjadi hal yang sangat penting bagi konsumen. Karenanya harus ada upaya untuk menstabilkan warna cabe sebelum dikeringkan. Petani di Indonesia akan menghamparkan buah cabai yang sudah dipetik di tempat teduh dengan tujuan untuk mencegah pembusukan sebelum dijual ke pasar. Tindakan seperti ini disebut curing yaitu mengondisikan buah cabe untuk dapat menyesuaikan dengan keinginan dari pasar.
Dalam penelitian “Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Cabai Merah memaparkan bahwa beberapa kelompok konsumen seperti hotel, restoran, dan pasar swalayan memberi harga yang berbeda pada cabai berdasarkan kelas mutu. Soetiarso dan Majawisastra (1992) melaporkan, konsumen mempunyai preferensi yang berbeda dalam menempatkan urutan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan harga pembelian cabai merah. Buah cabai yang telah dipanen segera disortasi untuk mencegah kerusakan. Penundaan sortasi akan mempercepat pembusukan. Cabai hasil sortasi yang berkualitas kurang baik masih dapat dipasarkan, meskipun harganya rendah. Sortasi yang dilakukan di petani berbeda yang dilakukan oleh industri (Asgar 2000). Petani umumnya mengharapkan semua hasil panen dapat dijual. Cabai yang berkualitas baik dijual ke pedagang atau pasar swalayan, sedangkan yang kualitasnya kurang baik dipasarkan ke pedagang pengecer atau pasar tradisional. Demikian pula di tingkat pedagang, cabai yang berkualitas baik dijual ke industri pengolah dan yang kurang bagus dijual ke pedagang pengecer. Industri pengolahan menghendaki cabai yang berkualitas baik agar hasil olahannya berkualitas prima.
3.    Penyimpanan
Di Indonesia, cabai umumnya lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk segar. Karena itu, para produsen dan pengelola komoditas cabai berupaya supaya cabai tetap kelihatan segar. Untuk itu diperlukan tindakan yang benar pada saat handling, pengemasan dan penyimpanan agar mutu tetap stabil dan bisa diterima konsumen dengan harga yang tinggi.
Setelah pemetikan, proses fisiologi tetap berjalan, tergantung pada situasi luar, seperti temperatur dan kelembaban. Proses fisiologi tetap dipertahankan tetapi lajunya harus dikurangi. Caranya dengan menekan tingkat respirasi, yaitu mengatur temperatur dan kelembaban udara di sekelilingnya dengan menempatkan produk dalam ruangan yang sistem udaranya terkendali. Selain laju respirasi, harus juga ditekan laju transpirasi yaitu proses penguapan dari buah cabai dengan cara meningkatkan kelembaban udara dan menurunkan temperatur, atau dengan menempatkan buah cabai dalam kemasan tertentu untuk mengurangi gerakan udara di sekeliling cabai.
Cabai yang telah dipanen dapat disimpan di lapangan atau di ruang tertutup, yaitu bangunan berventilasi, ruang berpendingin atau ruang tertutup yang konsentrasi gasnya berbeda dengan atmosfer. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang umur dan kesegaran cabai tanpa menimbulkan perubahan fisik atau kimia. Cara yang biasa digunakan adalah menyimpan cabai segar pada suhu dingin, sekitar 4OC. Menurut Asgar (2009), pendinginan bertujuan menekan tingkat perkembangan mikroorganisme dan perubahan biokimia. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kesegaran cabai. Suhu optimal pendingin bergantung pada varietas cabai dan tingkat kematangannya. Pendinginan dengan menggunakan refrigerator umumnya lebih mudah dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, cara ini sulit diterapkan di tingkat petani karena biayanya mahal. Penyimpanan dengan modifikasi atmosfer atau udara terkendali dapat memperlambat respirasi dengan mengurangi kandungan O2 serta meningkatkan kandungan CO2 dan N2. Dengan cara ini, aktivitas metabolisme bahan akan berkurang sehingga memperlambat proses kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Pantastico et al. (1975) serta Dasuki dan Muhamad (1997) menyatakan, penyimpanan dengan udara terkontrol dan dimodifikasi dapat menghambat metabolisme sehingga menunda pematangan dan pembusukan buah. Oleh karena itu, cabai yang akan disimpan hendaknya sehat, seragam kematangannya, dan dikemas dengan baik.
4.    Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk melindungi mutu produk cabai dari kerusakan mekanis, fisik dan fisiologi pada saat handling, pengangkutan dan bongkar muat. Kemasan yang ideal harus kuat, memiliki daya lindung yang tinggi terhadap kerusakan, mudah di-handle, aman dan ekonomis. Wadah kemasan dapat dibuat secara tradisional berupa keranjang bambu atau rotan, karung plastik polietilen dan kardus berventilasi. Para petani dan pedagang cabai untuk pasar tradisional biasanya mengemas cabai dengan karung plastik berlubang-lubang. Sementara itu, pasar swalayan menghendaki kemasan dalam kardus.
Pengemasan bertujuan untuk melindungi mutu cabai sebelum dipasarkan. Pengemasan yang baik dapat mencegah kehilangan hasil, mempertahankan mutu dan penampilan, serta memperpanjang masa simpan bahan. Kemasan yang biasa digunakan untuk memudahkan penyimpanan dan pengangkutan cabai di pasar domestik adalah keranjang bambu, peti kayu, dan plastik. Kemasan yang ideal adalah yang mudah diangkat, aman, ekonomis, dan dapat menjamin kebersihan produk. Kemasan lain yang biasa digunakan pedagang adalah jala dengan kapasitas 9−100 kg. Kemasan ini sangat praktis, tetapi tidak dapat melindungi cabai dari kerusakan mekanis dan fisiologis, terutama pada saat ditimbang dan di dalam alat angkut. Volume kemasan sebaiknya tidak melebihi 25 kg karena kemasan yang terlalu besar dapat menurunkan mutu cabai, terutama yang berada di bagian bawah (Setyowati dan Budiarti 1992). Kemasan yang baik dapat menekan benturan, mempermudah pertukaran udara, dan mengurangi penguapan. Prinsip pembuatan kemasan adalah ekonomis, bahannya tersedia, mudah dibuat, ringan, kuat, dapat melindungi komoditas, berventilasi dan tidak bau.
5.    Pengangkutan
Pada tahap ini transportasi memiliki peranan penting untuk memindahkan cabe dari lapangan ke tempat pengolahan (sertasi dan grading), kemudian ke pasar dan gudang. Selama proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya.
Pengangkutan dengan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka berbeda dengan sistem non konvensional seperti kontainer dengan sistem udara terkendali. Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabe relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis. Namun, pengangkutan dengan kontainer baru digunakan oleh perusahaan besar yang mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara itu, untuk pasar tradisional buah cabe lebih sering diangkut dengan mobil bak terbuka.
Pengangkutan merupakan mata rantai penting dalam penanganan pascapanen dan distribusi cabai. Untuk memperpanjang kesegaran, biasanya pedagang memerlukan alat angkut yang cocok untuk memperlancar pemasaran. Jika jumlah cabai yang dipasarkan sedikit, biasanya petani / pedagang menggunakan pikulan, sepeda atau gerobak. Selama pengangkutan, cabai dapat mengalami kerusakan mekanis karena kontak dengan wadah atau dengan cabai yang lain akibat goncangan. Kerusakan fisiologis juga bisa terjadi akibat gangguan metabolisme dalam bahan. Proses respirasi yang masih berlangsung dalam cabai yang ditumpuk menghasilkan H2O, CO2, dan energi dalam bentuk panas. Jika panas yang dihasilkan berlebihan akan mengakibatkan cabai menjadi layu, respirasi makin cepat, dan jaringan sel mati. Menurut Hartuti dan Sinaga (1993), pengangkutan cabai jarak jauh dengan menggunakan keranjang bambu, dapat menekan susut bobot hingga 0%, tingkat kerusakan 1,30%, dan kesegaran cabai cukup baik. Kemasan karton/kardus dengan kapasitas 20 kg dapat digunakan bila dipadukan dengan karung jala yang dimasukkan ke dalam kardus berventilasi. Pengemasan cabai yang kurang baik dapat menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil selama pengangkutan. Menurut Sutarya et al. (1995), pengangkutan cabai dalam jarak lebih dari 200 km dengan kemasan karung berkapasitas 90 kg menyebabkan kerusakan hingga 20%.
6.    Pemasaran
Pemasaran produk pertanian khususnya cabai masih belum memiliki kepastian, terutama harga. Saat ini, harga produk pertanian masih dipengaruhi oleh banyaknya suplai di pasar, musim dan event - event tertentu seperti hari raya keagamaan.
Jika suplai cabai di pasar terlalu banyak, harganya akan turun. Jika suplai sedikit harganya akan meningkat dari harga rata-rata. Faktor yang paling mempengaruhi harga cabai di pasaran adalah pengaruh musim.
B.   Penanganan pasca panen sekunder, meliputi :
1.    Pengolahan cabai kering
Harga komoditas pertanian termasuk cabai, umumnya akan jatuh pada saat panen raya. Untuk mengatasi masalah tersebut, cabai dapat dikeringkan lalu dibuat tepung (bubuk) sebagai bumbu siap pakai. Cabai kering berbentuk tepung sering digunakan sebagai pengganti lada. Cabai kering biasanya dipasarkan dan diolah lebih lanjut menjadi serbuk atau oleoresin cabai. Cabai kering hendaknya dibuat dari buah cabai yang betul-betul masak dan sehat (Menurut Asgar 2009).
Buah yang kurang tua atau masih kehijauan (warna merah kurang dari 60%) akan menghasilkan cabai kering yang berwarna keputihan, sedangkan buah cabai yang sudah mulai membusuk akan menghasilkan cabai kering yang berwarna kehitaman.
Cabai dibuang tangkainya lalu dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian dibelah atau bisa pula dalam bentuk utuh. Bila dibelah, pengeringannya lebih cepat dibandingkan yang utuh. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 60°C lebih baik daripada dijemur. Menurut Duriat (1995), pengeringan cabai dengan menggunakan alat pengering memudahkan mengontrol suhu dan kelembapan untuk mencapai kadar air 5−8%. Cabai merah utuh membutuhkan waktu pengeringan 20−25 jam, sedangkan yang dibelah hanya memerlukan waktu 10−25 jam. Cabai merah yang telah kering digiling bersama rempah-rempah lainnya sampai menjadi bumbu siap pakai. Pengeringan cabai merah dapat pula menggunakan alat pengering energi surya.
Hartuti dan Sinaga (1995) menggunakan pengering tenaga surya rakitan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Penggunaan alat pengering tersebut yang dikombinasi dengan memberi perlakuan antioksidan emulsi dipsol, Na2S2O5 dengan perendaman selama 6 menit dan pengeringan 7 hari menghasilkan cabai merah kering terbaik.
2.    Pengolahan cabai merah menjadi saus
Pengolahan cabai merah menjadi saus dimulai dengan pemilihan buah cabai merah yang sehat dan tidak rusak. Cabai dibuang tangkainya lalu dicuci sampai bersih, dikukus hingga matang, kemudian digiling bersama bumbu, seperti bawang putih yang telah dikukus 10 menit, gula pasir, garam, penyedap masakan, kecap inggris, minyak wijen, cuka, dan bahan pengawet natrium benzoat 0,025 g / 1 kg cabai. Setelah tercampur rata, adonan dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Selanjutnya didiamkan 20 menit, lalu dipanaskan kembali hingga mendidih selama 3 menit. Pemanasan saus secara bertahap dapat memperbaiki konsistensi (mencegah terjadinya pemisahan air). Dalam keadaan panas, saus dimasukkan ke dalam botol steril lalu ditutup rapat, kemudian dipasteurisasi dengan dikukus selama 30 menit.
3.    Pengolahan cabai merah menjadi bumbu nasi goring.
Cabai untuk bumbu nasi goreng dipilih yang berwarna merah. Cabai dikukus sampai matang, waktunya disesuaikan dengan jumlah cabai yang akan diolah. Pengukusan cabai sebelum diolah akan memperbaiki warna bumbu nasi goreng. Setelah matang, cabai digiling bersama bumbu, yaitu bawang merah, bawang putih, kecap ikan, kecap manis, minyak wijen, garam, minyak goreng, tomat yang telah dihaluskan, penyedap, dan lada. Campuran cabai dan bumbu yang telah digiling lalu ditumis dalam minyak panas (suhu 90°C) selama 3 menit. Cara pemanasan ini menghasilkan bumbu nasi goreng yang terbaik dibandingkan tanpa pemanasan. Dalam keadaan panas, bumbu dimasukkan ke dalam botol steril, lalu ditutup rapat dan dipasteurisasi dengan cara dikukus 30 menit.
4.    Oleoresin cabai merah.
Penggunaan oleoresin cabai merah sebagai pewarna makanan makin meluas sehingga permintaannya makin meningkat. Oleoresin cabai merah mempunyai ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan dengan pewarna lainnya. Kisaran pH untuk pemakaiannya cukup luas, yaitu 1−9. Keuntungan mengolah cabai merah menjadi oleoresin yaitu: 1) produk lebih awet karena bebas dari mikroba, serangga, dan enzim serta berkadar air rendah, 2) mutu produk seragam dan mudah distandarkan, 3) memiliki rasa yang mirip dengan rempah asli, dan 4) dapat dipadatkan (ditumpuk) sehingga menghemat biaya transportasi. Sebagai pewarna makanan, oleoresin paprika sering dicampur dengan pewarna alami lain, seperti annato dan kurkumin. Keuntungan pemakaian oleoresin dibandingkan dengan rempah-rempah bubuk lainnya adalah ekonomis, rasa kuat dan dapat dikontrol, serta tahan panas. Hasil penelitian Yuliana et al. (1991) terhadap rendemen dan mutu oleoresin dari beberapa jenis cabai menunjukkan bahwa pembelahan buah cabai sebelum pengeringan menghasilkan mutu oleoresin yang baik, tetapi menurunkan kadar minyak atsiri. Sebelum diekstraksi, cabai perlu dikeringkan sampai kadar air 10%, namun pengeringan yang terlalu lama dapat menurunkan kandungan minyak atsiri. Pengeringan juga akan memengaruhi kepedasan dan warna cabai kering. Mutu oleoresin ditentukan oleh nilai kepedasan, intensitas warna, dan aroma sehingga pengeringan cabai harus diusahakan berlangsung dalam waktu singkat pada suhu rendah.
Demikianlah pembahasan mengenai teknik / cara penanganan pasca panen pada tanaman cabai semoga bermanfaat bagi para insan – insan yang berkecimpun di dunia pertanian dan menjadi bahan referensi bagi kita semua demi kemajuan pertanian di Indonesia pada masa – masa yang akan datang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar